Hi-Tech Student Day 2012

Hi-Tech Student Day 2012
Foto bersama Kakak-Kakak Pramuka Unpad dengan Rektor Unpad, Prof. Ganjar Kurnia usai upacara peringatan HUT RI ke-68 pada Sabtu (17/8/2013) di Kampus Unpad Dipatiukur, Bandung

Selasa, 09 Oktober 2012

RUU Pemilihan Presiden – Konsep Pemilu Serentak


Pada diary komunikasi politik ketiga kali ini, saya mencoba menganalisis isu politik tentang RUU Pemilihan Presiden dengan judul berita Matangkan Konsep Pemilu Serentak. Setelah saya membaca berita tersebut telah terungkap spekulasi dari beberapa politisi dari berbagai partai nasional mengenai isu tersebut. Ada hal menarik bila pemilu serentak langsung diberlakukan pada tahun 2014 yaitu adanya keuntungan dan kelemahan yang bisa didapatkan dari pemilu serentak tersebut.
Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia harus ikut serta dalam pesta demokrasi daerah maupun nasional yang bila dihitung dalam 5 tahun, masyarakat harus memilih 2-4 kali pemilu dan membuat masyarakat jenuh akan pesta demokrasi itu. Tentu, selain kejenuhan yang dirasakan masyarakat, dana pemilu pun cukup besar menghabiskan APBN di mana itu adalah uang rakyat. Padahal dengan diberlakukannya pemilu serentak, bisa mendapatkan keuntungan, di antaranya penggunaan anggaran menjadi lebih irit dan efisien. Selain itu, masyarakat tidak jenuh dalam menentukan pilihan politiknya. Masyarakat cukup mendatangi tempat pemungutan suara dua kali dalam lima tahun sehingga diharapkan tingkat partisipasi pemilih pun meningkat, menurut A. Malik Haraiman, anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat saat diwawancarai pihak KOMPAS di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/9).
Malik juga berpendapat bahwa konsep pemilihan umum secara serentak diharapkan lebih dimatangkan. Meskipun banyak keuntungan yang bisa didapat, tidak seharusnya pemilu serentak langsung diberlakukan pada tahun 2014 tanpa kesiapan dan konsep yang jelas. Ketika membaca dan memahami bagian itu, saya juga berpendapat bahwa pemilu serentak memang ada baiknya untuk efisiensi anggaran dan tingkat kejenuhan masyarakat dalam kegiatan berpolitik dan bernegara. Namun harus disadari bahwa pemilu serentak tidaklah mudah untuk dilaksanakan begitu saja, karena di berbagai daerah baru saja memulai pemilu di tahun 2011, 2012 ataupun 2013 seperti Pilkada DKI Jakarta yang baru saja terjadi, maka secara otomatis waktu jabatan dari seorang pemimpin daerah kurang dari 5 tahun masa jabatan seharusnya. Ini akan menimbulkan permasalahan baru dan memicu konflik bila tidak ada konsepan yang jelas tentang pemilu serentak ini dan perlu ada kesiapan secara menyeluruh baik dari peraturan pemilu itu sendiri maupun peraturan daerah yang mengatur tentang pilkada masing-masing daerah. Jangan sampai dengan adanya ide pemilu serentak malah memicu permasalahan baru yang sebenarnya ada kebaikan dari situ untuk kegiatan berpolitik masyarakat yang lebih baik dan terintegrasi secara profesional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Memang penyelengaraan pemilu serentak bisa saja terjadi jika memang ada konsep yang jelas dan matang serta kesiapan dari berbagai hal yang menyangkut pemilu. Meski demikian, penyelenggaraan pemilu serentak tetap sulit direalisasikan pada tahun 2014. Salah satu persoalan yang akan muncul adalah bagaimana mengatur persyaratan partai politik untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Pada bagian pendapat Malik lainnya yaitu “kalau kemudian pilpres dan pileg dilakukan bersamaan pada 2014, pertanyaannya bagaimana memberlakukan president threshold-nya. Kalau menggunakan persentase perolehan suara pada 2009, itu tidak relevan. Lalu kalau tidak memakai president threshold juga lucu, tidak adil. Untuk mengusung kepala daerah saja ada threshold, massa memilih presiden tidak ada threshold,” ujarnya. Ini menimbulkan kontradiktif tersendiri jika memang pilpres dan pileg tidak memberlakukan threshold di mana memang itulah salah satu elemen penting dalam pemilu adalah adil.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Indra, juga berpendapat, pemilu serentak akan sulit diselenggarakan pada 2014. Alasannya, syarat perolehan kursi atau suara parpol untuk mengusung capres-cawapres (presidential threshold) harus berdasarkan hasil pemilu terkini, bukan pemilu sebelumnya. Oleh karena itu, Malik mengusulkan agar konsep pemilu serentak dimatangkan terlebih dahulu sebelum diberlakukan. Apalagi, konsep yang ditawarkan tiap-tiap fraksi mengenai pemilu serentak juga masih berbeda-beda, PKB, misalnya, mengusulkan pemilihan presiden, pemilihan DPR, dan pemilihan DPD diselenggarakan bersamaan. Pemilu gubernur, bupati/wali kota, dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota juga diselenggarakan secara bersamaan.
Konsep itu berbeda dengan gagasan yang diajukan Partai Golkar, yakni pemilu presiden dilakukan serentak dengan pemilu kepala daerah. Sementara pemilu DPR diselenggarakan bersamaan dengan pemilihan DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Menurut saya, dari kedua opsi itu sama-sama menginginkan pemilu serentak yang mampu mengefisiensikan anggaran maupun partisipasi masyarakat dalam kegiatan politiknya yang akhir-akhir ini hampir kerap didominasi dengan “golput” atau golongan putih yang artinya abstein atau tidak menentukan pilihan. Ini diakibatkan oleh bertaburnya janji-janji yang diberikan oleh para calon pemimpin daerah maupun nasional tanpa adanya bukti-bukti yang nyata. Ditambah dengan maraknya kasus-kasus korupsi yang menyangkut para pejabat tinggi negara maupun daerah. Tentu ini bisa jadi “bumerang” tersendiri untuk usulan pemilu serentak.
Sebenarnya, jikalau tak ada kasus-kasus korupsi seperti itu, maka harapan masyarakat terhadap pemimpinnya tidak akan pudar maupun menghilang dari kegiatan politik mereka di tingkat daerah maupun skala nasional. Apalagi dalam teori pembangunan yang menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan, sebelum lepas landas dimulai. Teori Rostow (yang lebih menekankan pada proses lepas landas) dan Hoselitz (yang membicarakan lembaga-lembaga yang diperlukan menjelang lepas landas) merupakan contoh dari teori ini. Berbeda dengan Weber yang menekankan nilai-nilai, Hoselitz menekankan lembaga-lembaga yang kongkret. Lembaga-lembaga politik dan sosial ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga teknis wiraswasta dan teknologi.
Kemudian, ada pendapat dari Wakil Ketua MPR, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Lukman Hakim Saifuddin, ide pelaksanaan pemilu serentak antara pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif masih mungkin diterapkan pada pemilu 2014. Hal terpenting yaitu usul tersebut terlebih dulu didasari kajian mendalam dan disosialisasikan secara masif kepada semua kalangan masyarakat pemangku kepentingan.
Dari situlah, saya berpendapat bahwa bila memang pemilu serentak memberikan efek yang lebih baik untuk dunia politik Indonesia dan masyarakat Indonesia itu sendiri, maka bisa dijalankan dan diterapkan asalkan semuanya telah terkonsep matang dan dikaji secara mendalam dan komprehensif serta tidak semata-mata ada kepentingan lain yang bisa membuat kacau politik Indonesia. Kemudian didukung dengan sosialisasi yang menyeluruh jikalau sistem pemilu serentak jadi diselenggarakan pada pemilu 2014. Jangan sampai hanya membuat “ruwet” persoalan bangsa dan negara Indonesia, lebih baik untuk tidak dilaksanakan sama sekali pemilu serentak itu bila banyak mudlorot-nya.
Sumber:
v Pemikiran dan Pengalaman Pribadi
v Harian KOMPAS, edisi Sabtu, 22 September 2012 pada rubrik Politik dan Hukum halaman 2 kolom 1 sampai dengan kolom 4
v Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
v Anggota IKAPI.2012. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Yrama Widya

Pilkada DKI Jakarta 2012 Putaran Kedua


Setelah saya mengetahui apa arti politik secara umum dan komunikasi itu sendiri sehingga saya pun bisa menyimpulkan tentang pengertian komunikasi politik yang merupakan suatu proses penyampaian pesan dari seorang/lebih komunikator terhadap komunikate untuk bersama-sama merumusakan suatu keputusan dan tujuan bersama melalui beberapa kegiatan/tindakan dalam suatu sistem politik.
Pada diary komunikasi politik kedua kali ini saya mencoba menganalisis tentang isu politik yang sedang hangat diperbincangkan oleh warga DKI Jakarta pada khususnya dan warga Indonesia pada umumnya yaitu Pemilu daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta putaran kedua. Karena Pemilu daerah (Pilkada) DKI Jakarta ini memang sebagai indikator tingkat kesuksesan dari sebuah pemilu dan gambaran kedepan untuk pemilu presiden dan wakil presiden Indonesia. Pilkada DKI Jakarta ini diadakan setiap lima tahun sekali untuk memilih gubernur dan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia yang merupakan ibu kota Negara Indonesia. Oleh sebab itu, menjadi hal yang menarik untuk dianalisis dari segi komunikasi politik yang diusung oleh kedua Cagub dan Cawagub DKI Jakarta untuk periode 2012-2017.
Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya bahwa dari hasil Pilkada DKI Jakarta putaran pertama telah diseleksi melalui pemilihan langsung oleh warga DKI Jakarta yang mengerucutkan 2 pasang yang tadinya ada 6 pasang Cagub dan Cawagub. Kedua pasang Cagub dan Cawagub yang lolos ke putaran selanjutnya yaitu pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Mereka lah yang sedang berduel memperebutkan kursi panas orang nomor satu dan dua di DKI Jakarta untuk periode 5 tahun mendatang. Tentu saja, sudah menjadi rahasia umum jikalau setiap ada pemilu maka ada kampanye baik yang terbuka maupun terselubung artinya tidak mengikuti jadwal kampanye atau secara diam-diam tidak diketahui oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Di sini saya mencoba menganalisis dampak atau efek yang dihasilkan dari sebuah kampanye yang dilakukan oleh kedua kubu yang sedang bertarung menjadi DKI 1 dan DKI 2 itu. Istilahnya “dimana ada aksi disitulah ada reaksi”, seperti bunyi hukum Newton 3 dalam pelajaran Fisika. Istilah tersebut juga bisa dikaitkan dengan ketertarikan dan kepedulian para pemilih untuk menentukan pilihannya yang menyangkut dengan masa depannya hidup di DKI Jakarta. Dari hasil Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 putaran pertama lalu, hanya 2 pasang yang lolos ke putaran kedua yaitu Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Di antara kedua pasang tersebut pasangan Jokowi-Ahok lah yang meraih suara terbanyak dengan persentase 42,60% atau sebanyak 1.847.157 suara pemilih. Sedangkan pasangan Foke-Nara menempati urutan kedua dengan persentase 34,05% atau sebanyak 1.476.648 suara  pemilih.
Usaha yang dilakukan kedua pasangan ini terbilang ambisius untuk memperebutkan posisi DKI 1 dan DKI 2 untuk periode 2012-2017. Bahkan tak heran pula, cara kampanye yang mereka lakukan unik dan atraktif untuk menarik massa supaya memilih mereka saat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua (20/9). Saya pun mengetahui cara kampanye yang boleh saya katakan unik dan atraktif serta inovatif pula yaitu dengan membuat game online yang beredar di dunia maya salah satunya melalui mindtalk.com yang merupakan sebuah jejaring sosial seperti facebook dan twitter ataupun jejaring sosial lainnya. Di dalam permainan itu, terdapat filosofi atau makna politik dan usaha-usaha politik lainnya yang akan mereka usung dan lakukan jika menjadi pemimpin ibu kota Indonesia itu.
Pada permainan yang disuguhkan oleh pasangan Foke-Nara tentang program kerja yang akan dilaksanakan oleh Fauzi Bowo yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sebagai Cagub incumbane (yang menjabat terdahulu). Dalam permainan tersebut salah satunya tentang public transportation yang berkaitan dengan monorail yang sebenarnya sejak masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso telah menggagas dan bahkan sudah sampai tahap pembangunan tiang-tiang pancang monorail yang sekarang terbengkalai itu menyuguhkan sebuah tantangan untuk adu balap dengan kereta konvensional lainnya. Sedangkan permainan yang ditawarkan oleh pasangan Jokowi-Ahok lebih kepada pemberantasan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terjadi di pemerintahan DKI Jakarta beserta pemberantasan kriminalitas yang akhir-akhir ini marak terjadi di ibu kota. Di sana, ada tokoh penjahat dan koruptor yang harus dimusnahkan dan dihilangkan dari muka bumi ini serta ada pembersihan sampah yang tersebar di DKI Jakarta.
Dari kedua permainan tersebut yang disuguhkan oleh kedua pasangan Cagub dan Cawagub DKI Jakarta periode 2012-2017 memiliki sarat makna politik dan filosofi penjabaran program kerja (proker) secara umumnya seperti apa yang akan mereka janjikan dan lakukan saat mereka menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bila dirunut kembali dari kedua game online tersebut saya memang lebih menyukai permainan di dunia maya yang ditawarkan oleh Jokowi-Ahok karena tidak monoton dan mengasah kemampuan berpikir dan saraf motorik ketimbang game online milik Foke-Nara.
Kemudian, dari segi pemasangan baliho, stiker dan spanduk tentang kampanye Pilkada DKI Jakarta yang dipublikasikan oleh tim sukses Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok telah membuat Kota Jakarta bukan tambah akrab dengan pesta demokrasi di wilayah ibu kota malah membuat wajah ibu kota nampak semerawut dan terkesan kumuh dan lusuh. Tak jarang banyak warga DKI Jakarta yang mengeluhkan tentang pemasangan alat peraga kampanye yang dipasang di jalan-jalan baik jalan raya maupun  jalan kecil (gang-gang) maupun di tempat umum lainnya. Dari segi komunikasi politik yang dibangun melalui alat peraga itu terkesan “normatif” dan lebih kepada “pencitraan positif”. Ya memang supaya bisa memenangi Pilkada dan dikenal warga DKI Jakarta menampilkan sisi baik dari kedua pasangan tersebut. Tak pelak, bagi warga DKI Jakarta yang kini sudah cukup cerdas dalam menentukan pilihannya tak terkecoh dengan alat peraga kampanye tersebut.
Fenomena Jokowi-Ahok yang menjadi sasaran isu sara menjadi kian panas dan membuat adu strategi kampanye nambah memanas dan tak sehat. Seperti isu SARA yang kian diperbincangkan dan diperdebatkan oleh seorang pendukung atau tim sukses dari salah satu kandidat yang menggunakan isu SARA tersebut untuk mengalihkan pandangan warga DKI Jakarta akan pilihannya di putaran kedua. Tentu saja, warga DKI Jakarta yang rata-rata memperoleh pendidikan apalagi sampai ke perguruan tinggi tak begitu saja terprovokasi ataupun terpengaruh akan isu tersebut. Pastinya mereka punya rasa idealis dalam menentukan pilihannya sesuai dengan hati nurani dan pikiran yang jernih. Mereka sudah cukup cerdas dalam menentukan pilihannya untuk 5 tahun kedepan yang menyangkut nasib mereka pula. Warga DKI Jakarta tidak perlu janji namun perlu bukti. Apapun latar belakang agama, asal, budaya, dan ras-nya, warga DKI Jakarta tak begitu peduli selagi pemimpin yang mereka cari itu sesuai dengan hati nurani dan pikiran jernih mereka serta untuk keadaan daerhanya yang lebih baik dan maju.
Salah satu media yang membuat saya menarik kesimpulan bahwa kemasan kampanye yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula selain menggunakan istilah “dimana ada aksi disitulah ada reaksi” yaitu dengan media di media sosial seperti youtube. Tim sukses pasangan Jokowi-Ahok membuat iklan kampanye yang kemudian diunggah ke youtube dengan mengcover sebuah lagu What Makes You Beautiful dari boyband remaja asal Inggris yang sedang terkenal dan tenar saat ini, One Direction yang dipadukan dengan lirik yang diubah menjadi pesan dan komunikasi poltik. Di dalamnya memang terdapat lirik-lirik yang nyeleneh namun masuk akal dan logika tentang sebuah pertarungan Pilkada yang dibalut ke dalam videoklip. Videoklip ini dibuat oleh para pemuda ataupun mahasiswa yang mendukung pasangan Jokowi-Ahok yang sekaligus sebagai tim sukses Jokowi-Ahok. Selain itu pula, Jokowi-Ahok juga membuat videoklip kembali yang berisikan ajakan untuk memilih di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 putaran kedua baik untuk pasangan yang berkumis ataupun yang kotak-kotak. Sungguh sebuah pesan kampanye yang efektif dan menarik serta sebagai bagian dari komunikasi politik yang memang memastikan apa yang calon pemimpin itu rencanakan, janjikan, dan kemudian bisa diimplementasikan kedalam bentuk program kerja (proker) yang nyata bukan hanya asal bicara seperti “pepesan kosong” dan istilah “tong kosong nyaring bunyinya”.
Tak heran pula bila pada hari ini, Kamis, (20/9) dimana hari Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 putaran kedua berlangsung, pasangan Jokowi-Ahok untuk sementara unggul dalam perhitungan cepat (quick count) dengan persentase 53,81% karena adanya pengaruh komunikasi politik yang dibuat oleh pasangan tersebut. Sedangkan pasangan Foke-Nara memperoleh 46,19% hingga perhitungan cepat terakhir pukul 16.30 WIB yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan SCTV. Di samping track record Jokowi-Ahok sebagai pemimpin daerah asal masing-masing cukup sukses dan bahkan menjadi nominasi salah satu walikota terbaik di dunia yang diraih oleh Jokowi atas keberhasilannya memimpin Kota Solo menjadikan penilaian tersendiri warga DKI Jakarta untuk menentukan pilihan terbaik mereka supaya daerahnya ada perubahan ke arah yang lebih baik dan maju lagi. Apa yang dilakukan pasangan Foke-Nara pun juga cukup baik, namun pencitraan pula juga menentukan pilihan warga DKI Jakarta. Citra yang dibentuk Jokowi terlihat apa adanya dengan kesederhaan dan keramah-tamahan sebagai orang Indonesia khususnya orang Jawa Tengah. Selain itu pula, mungkin warga DKI Jakarta sudah cukup lelah dengan janji-janji yang ada tanpa ada bukti-bukti yang tersedia di depan mata warga DKI Jakarta.
Jangankan warga DKI Jakarta yang senang dengan karakter Jokowi, yang pasti pula warga Solo pun turut senang bilamana walikota mereka itu sebentar lagi akan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sampai-sampai warga Solo dalam meluapkan rasa syukur dan girang atas kemenangan walikota mereka, Joko Widodo alias Jokowi, berdasarkan penghitungan cepat lembaga survei. Salah satunya adalah ini: ramai-ramai mencukur kumis. Kumis adalah ikon kampanye Fauzi Bowo, yang memang berkumis tebal. Saya rasa dengan komunikasi politik yang baik, maka calon pemimpin tersebut bisa menjadi pemimpin yang tidak hanya pintar beretorika namun juga jago membuat apa yang pemimpin itu janjikan menjadi nyata.
Sumber:
v Pemikiran dan Pengalaman Pribadi