Sungguh Aneh Tapi Nyata
Ketika Anda mendengar seorang pemimpin yang menyelewengkan hak dan kepentingan rakyat karena kepentingan pribadi, sungguh itu merupakan pengkhianatan besar terhadap rakyat. Jelas, ada ucapan bahwa “bila suatu daerah atau wilayah dipimpin oleh seorang yang tidak ahli, maka tunggu saja kehancurannya”. Kalimat itu mungkin pernah dan sering kita dengar. Akibatnya ketika ada seseorang seperti pada kalimat itu, sungguh mencerminkan betapa bobroknya sikap kepemimpinan seseorang itu.
Hal inilah agaknya
menyeret nama Bupati Garut, Aceng. Nampak tak ada penyesalan dari seorang Aceng
selaku Bupati setelah apa yang dia perbuat dan menggegerkan media massa dengan
ulahnya. Apa sih yang menyebabkan berita mengenai dirinya diangkat ke media?
Rupanya Aceng telah melakukan perceraian secara sepihak terhadap seorang gadis
belum cukup umur yang sekarang menjadi seorang janda hanya dengan melalui SMS. Sungguh betapa memalukan dan
bodohnya perbuatan seorang Bupati Garut itu. Memang tidak ada larangan dia menikah
dengan siapa saja dan berapa kali pun. Namun yang sangat disesalkan adalah
ketika dia menikahi seorang perempuan di bawah umur untuk dinikahi kemudian
menceraikannya dengan cara yang tidak biasa bahkan cenderung aneh bin nyata.
Ya begitulah faktanya, dan
media massa pun berbondong-bondong memberitakan hal tersebut. Sampai-sampai
yang buat saya heran dan menggelitik nurani saya ketika salah satu media
televisi swasta nasional menyiarkan pernyataan dan klarifikasi atas tindakan
Aceng yang disampaikan oleh Aceng sendiri di hadapan media tersebut. Sontak
saja menimbulkan beberapa komentar negatif dari masyarakat khususnya warga
Garut yang merasa dikhianati oleh pemimpinnya. Tak heran pula jika Wakil Bupati
Garut sebelumnya yang berasal dari kalangan selebritis, Diky Candra secara
terang-terangan mengundurkan diri karena tidak sejalan dan sevisi lagi dengan
Bupati Garut dan anggota DPRD Garut.
Saat saya mendengarkan
radio PRFM 107,5 FM pada malam hari pada Senin (3/12), ada pembahasan tentang
berita perceraian Aceng dan mengabarkan bahwa saat malam itu juga Aceng sedang
berbicara di hadapan publik melalui media televisi nasional swasta berwarna
merah itu. Apakah ini bagian dari pencitraan atau klarifikasi berujung pada recovery nama baik? Ataukah ajang modus
komunikasi politik untuk mengembalikan kepercayaan warga Garut dan umumnya
masyarakat Indonesia? Entahlah, yang jelas menurut saya dia tidak bermoral
secara etika kehidupan apalagi berbicara pada ranah agama. Satu lagi yang
membuat saya tak habis pikir dan sangat mengherankan adalah ketika dalam siaran
radio PRFM itu ada berita bahwa anggota DPRD Garut tidak menyetujui jika Aceng
harus berhenti dari jabatannya sebagai Bupati Garut. Wah..wah..wah.. sungguh
dunia ini sudah terbalik atau gimana yah? Masa DPRD alias Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang seharusnya mendengarkan suara rakyat dan mengabulkan suara
rakyat yang memang untuk kebaikan rakyatnya tidak ditanggapi secara bijak.
Bahkan cenderung mengkhianati rakyat. Menurut saya itu “sungguh aneh tapi nyata”
dan kata bang Rhoma Irama, “sungguh terlalu”.
Padahal sudah jelas-jelas,
Aceng telah melanggar norma-norma sosial yang berlaku di budaya kita selaku
orang Indonesia yang mengerti tentang adab pernikahan bahwa pernikahan itu
bukan main-main apalagi berbicara ke wilayah agama dan agama Islam itu sendiri.
Alangkah arif dan bijaksananya apabila DPRD segera memberhentikan Aceng sebagai
Bupati Garut. Apabila Aceng masih punya urat malu, maka menurut saya dia
seharusnya segera mengundurkan diri tanpa lagi harus disuruh. Dimana hati
nurani dia sebagai pemimpin? Coba kita lihat negara maju seperti Jepang
jangankan untuk jabatan gubernur, bupati, untuk semua jabatan yang sangkut
pautnya dengan warga apabila kurang memuaskan dan dianggap gagal, maka mereka
dengan penuh kesadaran dan secara sukarela mengundurkan diri. Beda sekali
dengan para pemimpin di Indonesia yang sudah jelas-jelas salah dalam ranah
hukum pula dan terbukti bersalah dengan seenak dan seudel maunya sendiri tidak mau
mengundurkan diri.
Jelas saja jika negara
kita tidak bisa maju-maju jika para pemimpinnya tidak gentelmen dan jujur. Jangan sampai pula Aceng dipaksa mundur itu
namanya sudah tidak gentelmen lagi
kalau menurut saya. Coba kita telisik lagi tingkat partisipasi politik kita
sebagai rakyat biasa yang tidak terjun langsung ke ranah politik. Karena negara
kita sekarang menyandang sebagai negara demokratis ke-4 di dunia, maka sudah
sewajarnya kita juga mendukung sistem perpolitikan di negara kita. Dengan
mengetahui seluk-beluk calon pemimpin kita akan bisa secara arif, bijak dan
sesuai hati nurani untuk memilih pemimpin yang terbaik dari yang paling baik
istilah lain best of the best.
Ya kita sebagai warga
jangan apatis. Coba cari tahu latarbelakang dan track record dari calon pemimpin kita. Tidak hanya dari retorika
semata sebagai ajang komunikasi politik basa-basi saja tapi juga dari tindakan
nyata dan kontribusi yang sudah dilaksanakan oleh calon pemimpin itu. Saya bisa
mengambil contoh Pak Jokowi yang sekarang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta
untuk periode 2012-2017. Bukan saya berpihak pada Jokowi tapi melihat latar
belakangnya sebagai Walikota Solo yang sukses menghantarkan warganya kepada
keinginan warganya dan selalu turun tangan hingga berkomunikasi langsung dengan
warganya. Dari situ saya melihat track
record dan figur yang kuat dari seorang Jokowi yang memiliki karakter
kepemimpinan yang kuat. Tidak hanya retorika belaka, tapi dengan tindakan
nyata. Walau memang butuh diuji lagi kapabilitas Jokowi sebagai Gubernur baru
DKI Jakarta. Tapi setidaknya Jokowi telah mencontohkan bagaimana menjadi
pemimpin yang bijaksana dan merakyat. Lah memang itulah tugas pemimpin bisa
mengayomi warganya dan sebagai “pelayan” bagi warganya.
Semoga kedepannya
peristiwa seperti kasus Bupati Garut itu tidak terulang lagi di daerah manapun
di Indonesia dan dengan contoh beberapa figur pemimpin yang bijaksana dengan track record yang sudah terlihat secara
nyata, bisa menjadikan pilihan masyarakat Indonesia sesuai dengan hati nurani.
Itulah yang saya maksud bahwa ketika kita tahu siapa pemimpin kita, maka kita
bisa menentukan pemimpin kita dengan hati nurani bukan karena janji-janji.
Sungguh aneh tapi nyata, ya itulah gambaran demokrasi di negara kita. Sebaiknya
kita tetaplah optimis dengan perpolitikan di negara kita karena dibalik
keburukan pasti ada secercah harapan dan kebaikan untuk demokrasi Indonesia.
Sumber:
v Pemikiran dan Analisis Pribadi
v Siaran Radio PRFM (Pikiran Rakyat)
107,5 FM Bandung pada Senin (3/12) sekitar pukul 09.00-10.00 malam