Awal Perjalanan ke Jepang (1)
Berbagai persiapan menuju negeri matahari terbit terus disiapkan
olehku, namun rupanya masih ada saja yang belum lengkap. Ibuku menanyaiku
perihal perlengkapan apa saja yang belum ada. Setelah dicek lagi, ternyata
masih kurang steker tipe A berbentuk pipih. Memang di Jepang colokan listriknya
berbeda dengan yang ada di Indonesia. Steker tipe A memiliki tegangan 110 Volt,
sedangkan di Indonesia bertegangan 220 Volt. Aku mencari steker tipe A di tiga
toko listrik dekat rumah, namun tak ada satupun yang menjualnya. Akhirnya,
ibuku berinisiatif membelikan terminal listrik untuk digunakan selama di sana
dengan harap teman satu kelompok membawa 2 steker tipe A.
|
Berbagai persiapan selama di Jepang |
|
Di Jepang menggunakan steker tipe A (bentuk pipih) 110 volt |
Sebenarnya tak hanya steker tipe
A saja yang aku cari, tetapi masih ada beberapa perlengkapan lainnya, seperti
kaos kaki, sarung tangan, dan obat-obatan. Aku harus membeli kaos kaki lagi
karena di sana sedang musim dingin dan sesuai buku pedoman, peserta Jenesys 2.0
Mass Media Batch 11 dihimbau untuk membawa kaos kaki selama 7 hari di samping
membawa mantel atau jaket tebal. Aku juga membawa beberapa kaos atau baju yang
bisa berlapis-lapis dipakai supaya tetap merasa hangat. Saat musim dingin di
Jepang, suhu di setiap kota berbeda-beda kisaran 4-6 derajat celcius pada bulan
Februari. Aku pun mempelajari bahasa Jepang dan berbagai kebiasaan orang Jepang
melalui buku pedoman.
Sebelum
take off, kami dikumpulkan terlebih dahulu oleh pendamping peserta
Jenesys dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI. Pada
sesi ini, kami mengisi daftar hadir dan mengecek kembali semua perlengkapan
khususnya paspor dan visa sebagai senjata kami selama di Jepang. Kami juga
dibagi ke dalam 4 grup, yaitu grup A-D yang ditempatkan di berbeda prefektur.
Aku kebagian grup Indonesia-D Prefektur Ehime bersama 24 orang lainnya termasuk
5 mahasiswa dari satu almamater Unpad.
|
Pesawat Japan Air Lines (JAL) |
Usai dibagi ke dalam grup, kami
melakukan broading pass yang cukup
ketat karena akan memasuki negara orang, khususnya Jepang yang merupakan negara
maju. Air mineral yang dibawa peserta Jenesys harus disita karena mengandung
cairan dan dikhawatirkan tercampur unsur kimia lainnya. Setelah itu, kami
menunggu take off di ruang tunggu keberangkatan
terminal 2.
|
Para peserta Jenesys sedang bersiap-siap take off di dalam pesawat JAL |
|
Dalam pesawat JAL, kami bisa menonton film termasuk film Jepang dan mendengarkan musik Jepang |
Aku kira perjalanan ke Jepang menggunakan
maskapai penerbangan kebanggaan negeri ini,
Garuda
Indonesia. Ternyata, aku dan teman-teman beserta pendamping dari
Kemenkominfo pergi ke sana menggunakan maskapai penerbangan Jepang,
Japan Air Lines (JAL). Wah,
branded sekali bisa mencicipi
penerbangan dengan maskapai Jepang. Menurutku wajar saja, karena Jenesys ini
kan merupakan program dari pemerintah Jepang bagi para pelajar dan mahasiswa
ASEAN termasuk Indonesia. Dalam program kali ini, para delegasi dari Indonesia
ditemani oleh delegasi dari Myanmar yang terdiri dari 2 grup.
Perjalanan dari Jakarta menuju
Tokyo menempuh waktu sekira 7 jam. Kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta
pukul 21.50 WIB dan tiba di Bandara Narita pukul 06.30 waktu Jepang. Saat
pesawat sudah memasuki langit Jepang, sang mentari pun muncul dengan sendirinya
dan benar saja begitu indahnya matahari menyinari pagi hari di Jepang yang
terkenal dengan sebutan negeri matahari terbit. Kala musim dingin, matahari
muncul pada pukul 6.00-6.45 waktu Jepang.
|
Sang mentari mulai menampakkan dirinya dari jendela pesawat |
|
Gugusan awan pagi hari bertambah cantik dengan hadirnya sang mentari |
Saat keluar dari dalam kabin
pesawat menuju bagian imigrasi Bandara Narita, cuaca berubah menjadi sangat
dingin sekali. Mungkin ini yang dinamakan dengan
weather shock dari cuaca negara tropis ke cuaca negara 4 musim,
apalagi masih musim dingin. Biasanya kalau kita masuk ke minimarket di
Indonesia, suhunya dingin dan keluar menjadi panas, namun di Jepang justru
kebalikannya. Benar saja, setelah keluar dari bandara barulah suhu musim dingin
di Tokyo terasa menusuk tulang hingga sakitnya tuh di sini... maksudnya sampai
terasa ke dada, asli deh. Maklum karena tubuhku ini kurus dan berlapis tulang
belulang dengan kulit tipis, he..he..
|
Setibanya di Bandara Narita, Jepang pada Selasa pagi (24/2/2015) |
|
Para peserta Jenesys 2.0 Mass Media yang baru tiba di Bandara Narita langsung ke bagian imigrasi |
Kami pun dijemput dengan bus
menuju hotel East 21, Tokyo sesuai dengan pembagian grup saat di Jakarta. Sepanjang
perjalanan, aku takjub dengan tata ruang kota yang diberlakukan di Jepang
karena tidak semrawut, tetapi benar-benar tertata dengan baik. Misal, letak
pusat bisnis, tempat pemerintahan, bahkan pabrik berbeda lokasi. Perjalanan
dari Narita menuju Tokyo sekira 60 menit menggunakan bus.
|
Hotel East 21 Tokyo, di dekatnya ada tempat parkir khusus sepeda |
Setibanya di Tokyo, aku
memperhatikan orang-orang Jepang gemar sekali naik sepeda. Mobil-mobil yang
berlalu lalang di jalan-jalan Tokyo tampak sedikit dan bisa dihitung dengan
jari setiap kali berhenti di lampu lalu lintas. Untuk jarak jauh, mereka lebih
suka berpergian dengan kendaraan umum, seperti bus dan kereta bawah tanah. Sepanjang
jalan itu, aku menemukan seorang ibu yang mengantarkan anaknya sekolah dengan
sepeda seperti mamanya Sinchan yang ada di kartun, benar ada di dunia realita. Mereka
yang mengendarai sepeda tak khawatir jika diparkir begitu saja bahkan tidak
dikunci atau digembok dan ternyata aman-aman saja. Pantas saja berdasarkan
survei beberapa waktu lalu, Tokyo dinobatkan sebagai kota teraman di dunia.
|
Suasana perempatan lalu lintas di Tokyo |
|
Seorang ibu yang mengantarkan anaknya pergi sekolah atau sekadar jalan-jalan dengan sepeda |
Begitu tiba di hotel East 21,
kami langsung disambut oleh koordinator grup kami yaitu Pak Kuswan yang berasal
dari Indonesia dan Mabuchi yang merupakan orang asli Jepang tapi pernah tinggal
di Jogja. Aku sempat mengira kalau Pak Kuswan itu orang Jepang, karena wajahnya
sudah seperti orang Jepang. Pak Kuswan memang sudah lama tinggal dan kerja di
Tokyo. Beliau menjelaskan mengenai informasi seputar program Jenesys ini
berlangsung. Kami juga diminta untuk menerapkan kedisiplinan selama 8 hari di
Jepang dan setelah tiba di Indonesia lagi terserah mau dilanjutkan untuk disiplin
atau
ngaret. Bisa saja cara Pak
Kuswan menghimbau kami.
|
Kegiatan orientasi pertama saat di Jepang |
|
Mabuchi (sebelah kiri) dan Pak Kuswan (sebelah kanan) |
Entah mengapa di hari pertama
menginjakkan kaki di Jepang, justru hari itulah kami diberikan waktu untuk
berjalan-jalan mengelilingi setiap sudut Kota Tokyo. Waduh, kalau begini
caranya, langsung saja sikat dan hajar waktu jalan-jalan ini, he..he. Grup
Indonesia-D tak mau kalah dan bersemangat untuk bisa mengunjungi ragam tempat
menarik yang ada di Tokyo, seperti Asakusa, Shibuya, bahkan Tokyo Tower. Sebelumnya Pak Kuswan telah
memberikan informasi mengenai ‘Tokyo Metro’, sebutan untuk kereta bawah tanah
Tokyo menuju ke berbagai tempat.
Setelah makan siang, kami segera
bergegas menuju stasiun kereta bawah tanah wilayah Toyocho yang dekat dengan
hotel East 21. Kami pun langsung membeli tiket elektronik ‘
one day ticket’ yang bisa digunakan seharian penuh. Akhirnya, kami
memutuskan untuk ke Asakusa yang merupakan pasar tradisional bagi para
wisatawan dan terdapat kuil untuk peribadatan orang Jepang. selain itu,
terdapat becak tradisional Jepang bagi para wisatawan yang ingin berkeliling
sekitaran Asakusa.
|
Becak tradisional Jepang untuk wisatawan
|
Kami berangkat dari Toyocho pukul
15.00 dan tiba di Asakusa pukul 16.00 karena kami kebanyakan bertanya, maklum
pertama kali naik beginian, he..he.. belum ada soalnya di Indonesia. Sempat
terpikir olehku dan bilang ke teman-teman, kalau di Indonesia khususnya Jakarta
ada kereta bawah tanah, nanti yang ada pas hujan turun, airnya netes-netes ke
stasiun sama keretanya, bisa-bisa
kelelep karena memang kontur tanah di Jakarta
mudah merembes.
|
Saat menunggu kereta datang |
|
Kereta 'Tokyo Metro' tiba di Stasiun Toyocho |
Saat di Asakusa, banyak sekali
kios-kios suvenir, makanan, mainan, bahkan pakaian khas Jepang. Barang-barang
yang dijual di sana terbilang terjangkau bagi wisatawan. Aku dan teman-teman
ada yang membeli jajanan khas Jepang, lalu ada juga yang membeli suvenir
sebagai buah tangan. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 17.00, tanda
kami harus segera kembali ke hotel supaya tidak telat.
|
Gerbang Asakusa |
|
Suasana di Asakusa |
Tadinya, kami ingin ke Shibuya
yakni pusat keramaian Kota Tokyo yang terkenal dengan para pejalan kakinya dan
gedung-gedung pencakar langit. Sayang, karena kami sampai di Asakusa kesorean
jadi kami tidak sempat ke sana. Kami harus kumpul kembali untuk jamuan makan
malam pukul 18.20 dan kebiasaan orang Jepang minimal 5 menit sebelumnya sudah
tiba di tempat. Maka, kami dihimbau sudah berkumpul pukul 18.15 di loby hotel.
Itulah kebiasaan orang Jepang yang terkenal dengan kedisiplinannya. Pantas saja
kalau Jepang sudah menjadi negara maju karena perilaku orang Jepang yang disiplin
dan giat bekerja.
|
Keramaian di Asakusa, Tokyo |
Tak sampai di situ, setelah makan
malam kami langsung memutuskan untuk jalan-jalan lagi sebelum jam malam pukul
22.00. Akhirnya, kami bergegas menuju
landmark
Kota Tokyo yaitu ‘Tokyo Tower’. Ternyata perjalanan menuju
Tokyo Tower sangat jauh karena berada di
pusat kota. Kalau mau ke Shibuya lebih jauh lagi. Kami berangkat pukul 20.30
dan tiba pukul 21.00, di sinilah kami bisa melihat pemandangan Tokyo di malam
hari. Dari ketinggian 120 meter bagian tengah
Tokyo Tower, kami bisa melihat
Rainbow
Bridge yang juga sebagai simbol Kota Tokyo. Indah dan menakjubkan
pemandangannya. Selain itu, aku dan teman-teman bisa melihat penayangan film 3D di sini. Rasanya tidak ingin turun, tetapi karena keterbatasan
waktu juga kami harus kembali ke hotel.
|
Penayangan film 3D di Tokyo Tower |
|
Tokyo Tower saat malam hari |
|
Rainbow Bridge dari atas Tokyo Tower |
*To be continue...