Pemutaran Film ‘Di Balik Frekuensi'
Konglomerasi Media di Awal Demokrasi Indonesia
Film ‘Di Balik Frekuensi’ (Google.com) |
Film yang bergenre feature documentary ini berfokus pada konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Durasi film selama 144 menit 27 detik ini diproduksi hampir setahun dimualai sejak 15 Desember 2011 hingga 25 November 2012. Lokasi pengambilan gambar dilaksanakan di Jakarta, Bandung, Indramayu, Malang, dan Porong, Sidoarjo. Perekaman gambar yang cukup panjang ini menghasilkan lebih dari 330 stok gambar.
Dalam kesempatan tersebut, Ucu Agustin selaku sutradara film ‘Di Balik Frekuensi’ memaparkan pandangannya mengenai latar belakang dibuatnya film tersebut. Menurutnya profesi sebagai wartawan harus memiliki keberanian dan jangan mudah patuh dengan pemilik media. “Menjadi wartawan harus berani dan jangan patuh dengan pemegang saham,” ungkapnya.
“Dengan adanya film ini bahwa masyarakat Indonesia harus tahu lika-liku kerja di media,” ujar produser film, Ursula Tumiwa.
Era Awal Demokrasi | |
Cuplikan Film 'Di Balik Frekuensi' |
Keberadaan Metro TV dianggap sebagai titik awal kebebasan pers yang lebih terjamin di awal era reformasi dan demokrasi di Indonesia. Namun faktanya, seiring dengan berjalannya waktu hal tersebut mulai dikuasai oleh idealisme pemilik modal media massa atau dikenal dengan sebutan ‘konglomerasi media’. Selain Metro TV, ada pula stasiun televisi berita lainnya yaitu tvOne yang juga memperlihatkan ‘konglomerasi’-nya.
“Manfaatnya memberikan gambaran bahwa ternyata media massa yang selama ini menjunjung tinggi berita, ternyata masih saja dipengaruhi oleh idealisme pemilik modal. Jadi untuk saat ini, saya tidak terpikirkan ke media”, tegas Jessica Patricia, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad angkatan 2011. Dia menyatakan film tersebut terkesan membosankan karena dikemas dengan durasi yang terlalu lama. Namun dia merasakan manfaat dari pemutaran film itu karena dia mengetahui realita media massa berita dan untuk saat ini dirinya merasa tidak ingin masuk media massa.
Jurnalisme Media Massa |
“Acaranya agak kurang bewarna, harusnya MC-nya lebih peruasif, emosi ruangan dibuat tegang, coba adakan simulasi apa gitu di acaranya dan durasi filmnya terlalu panjang”, ujar Haykal.
Terdapat dua cerita dalam penanyangan film tersebut. Cerita pertama mengenai Luviana, jurnalis yang di PHK stasiun televisi Metro TV tempatnya bekerja. Yang kedua adalah mengenai korban lumpur Lapindo Hari Suwandi dan Harto Wiyono yang berjalan kaki dari Porong, Sidoarjo menuju Jakarta. Kedua cerita itu disatukan ke dalam peran media yang berada di bawah pemilik modal media massa yang kemudian disiarkan kepada publik melalui film dokumenter ini. (DRS)