Setelah saya mengetahui
apa arti politik secara umum dan komunikasi itu sendiri sehingga saya pun bisa
menyimpulkan tentang pengertian komunikasi
politik yang merupakan suatu proses penyampaian pesan dari seorang/lebih komunikator terhadap
komunikate untuk bersama-sama merumusakan suatu keputusan dan tujuan bersama
melalui beberapa kegiatan/tindakan dalam suatu sistem politik.
Pada diary komunikasi politik kedua kali ini
saya mencoba menganalisis tentang isu politik yang sedang hangat
diperbincangkan oleh warga DKI Jakarta pada khususnya dan warga Indonesia pada
umumnya yaitu Pemilu daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta putaran kedua.
Karena Pemilu daerah (Pilkada) DKI Jakarta ini memang sebagai indikator tingkat
kesuksesan dari sebuah pemilu dan gambaran kedepan untuk pemilu presiden dan
wakil presiden Indonesia. Pilkada DKI Jakarta ini diadakan setiap lima tahun
sekali untuk memilih gubernur dan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta sebagai
miniatur Indonesia yang merupakan ibu kota Negara Indonesia. Oleh sebab itu,
menjadi hal yang menarik untuk dianalisis dari segi komunikasi politik yang
diusung oleh kedua Cagub dan Cawagub DKI Jakarta untuk periode 2012-2017.
Seperti yang sudah kita ketahui
sebelumnya bahwa dari hasil Pilkada DKI Jakarta putaran pertama telah diseleksi
melalui pemilihan langsung oleh warga DKI Jakarta yang mengerucutkan 2 pasang
yang tadinya ada 6 pasang Cagub dan Cawagub. Kedua pasang Cagub dan Cawagub yang
lolos ke putaran selanjutnya yaitu pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dan Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Mereka
lah yang sedang berduel memperebutkan kursi panas orang nomor satu dan dua di
DKI Jakarta untuk periode 5 tahun mendatang. Tentu saja, sudah menjadi rahasia
umum jikalau setiap ada pemilu maka ada kampanye baik yang terbuka maupun
terselubung artinya tidak mengikuti jadwal kampanye atau secara diam-diam tidak
diketahui oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Di sini saya mencoba
menganalisis dampak atau efek yang dihasilkan dari sebuah kampanye yang
dilakukan oleh kedua kubu yang sedang bertarung menjadi DKI 1 dan DKI 2 itu.
Istilahnya “dimana ada aksi disitulah ada reaksi”, seperti bunyi hukum Newton 3
dalam pelajaran Fisika. Istilah tersebut juga bisa dikaitkan dengan
ketertarikan dan kepedulian para pemilih untuk menentukan pilihannya yang
menyangkut dengan masa depannya hidup di DKI Jakarta. Dari hasil Pilkada DKI
Jakarta tahun 2012 putaran pertama lalu, hanya 2 pasang yang lolos ke putaran
kedua yaitu Foke-Nara dan Jokowi-Ahok. Di antara kedua pasang tersebut pasangan
Jokowi-Ahok lah yang meraih suara terbanyak dengan persentase 42,60% atau sebanyak 1.847.157 suara
pemilih. Sedangkan pasangan Foke-Nara menempati urutan kedua dengan persentase
34,05% atau sebanyak 1.476.648 suara
pemilih.
Usaha yang dilakukan
kedua pasangan ini terbilang ambisius untuk memperebutkan posisi DKI 1 dan DKI
2 untuk periode 2012-2017. Bahkan tak heran pula, cara kampanye yang mereka
lakukan unik dan atraktif untuk menarik massa supaya memilih mereka saat
Pilkada DKI Jakarta putaran kedua (20/9). Saya pun mengetahui cara kampanye
yang boleh saya katakan unik dan atraktif serta inovatif pula yaitu dengan
membuat game online yang beredar di
dunia maya salah satunya melalui mindtalk.com
yang merupakan sebuah jejaring sosial seperti facebook dan twitter
ataupun jejaring sosial lainnya. Di dalam permainan itu, terdapat filosofi atau
makna politik dan usaha-usaha politik lainnya yang akan mereka usung dan
lakukan jika menjadi pemimpin ibu kota Indonesia itu.
Pada permainan yang
disuguhkan oleh pasangan Foke-Nara tentang program kerja yang akan dilaksanakan
oleh Fauzi Bowo yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta
sebagai Cagub incumbane (yang
menjabat terdahulu). Dalam permainan tersebut salah satunya tentang public transportation yang berkaitan
dengan monorail yang sebenarnya sejak
masa pemerintahan Gubernur Sutiyoso telah menggagas dan bahkan sudah sampai
tahap pembangunan tiang-tiang pancang monorail
yang sekarang terbengkalai itu menyuguhkan sebuah tantangan untuk adu balap
dengan kereta konvensional lainnya. Sedangkan permainan yang ditawarkan oleh
pasangan Jokowi-Ahok lebih kepada pemberantasan praktek Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) yang terjadi di pemerintahan DKI Jakarta beserta pemberantasan
kriminalitas yang akhir-akhir ini marak terjadi di ibu kota. Di sana, ada tokoh
penjahat dan koruptor yang harus dimusnahkan dan dihilangkan dari muka bumi ini
serta ada pembersihan sampah yang tersebar di DKI Jakarta.
Dari kedua permainan
tersebut yang disuguhkan oleh kedua pasangan Cagub dan Cawagub DKI Jakarta
periode 2012-2017 memiliki sarat makna politik dan filosofi penjabaran program
kerja (proker) secara umumnya seperti apa yang akan mereka janjikan dan lakukan
saat mereka menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bila
dirunut kembali dari kedua game online
tersebut saya memang lebih menyukai permainan di dunia maya yang ditawarkan
oleh Jokowi-Ahok karena tidak monoton dan mengasah kemampuan berpikir dan saraf
motorik ketimbang game online milik
Foke-Nara.
Kemudian, dari segi
pemasangan baliho, stiker dan spanduk tentang kampanye Pilkada DKI Jakarta yang
dipublikasikan oleh tim sukses Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok telah membuat Kota
Jakarta bukan tambah akrab dengan pesta demokrasi di wilayah ibu kota malah
membuat wajah ibu kota nampak semerawut dan terkesan kumuh dan lusuh. Tak
jarang banyak warga DKI Jakarta yang mengeluhkan tentang pemasangan alat peraga
kampanye yang dipasang di jalan-jalan baik jalan raya maupun jalan kecil (gang-gang) maupun di tempat umum
lainnya. Dari segi komunikasi politik yang dibangun melalui alat peraga itu
terkesan “normatif” dan lebih kepada “pencitraan positif”. Ya memang supaya
bisa memenangi Pilkada dan dikenal warga DKI Jakarta menampilkan sisi baik dari
kedua pasangan tersebut. Tak pelak, bagi warga DKI Jakarta yang kini sudah
cukup cerdas dalam menentukan pilihannya tak terkecoh dengan alat peraga
kampanye tersebut.
Fenomena Jokowi-Ahok
yang menjadi sasaran isu sara menjadi kian panas dan membuat adu strategi
kampanye nambah memanas dan tak sehat. Seperti isu SARA yang kian
diperbincangkan dan diperdebatkan oleh seorang pendukung atau tim sukses dari
salah satu kandidat yang menggunakan isu SARA tersebut untuk mengalihkan
pandangan warga DKI Jakarta akan pilihannya di putaran kedua. Tentu saja, warga
DKI Jakarta yang rata-rata memperoleh pendidikan apalagi sampai ke perguruan
tinggi tak begitu saja terprovokasi ataupun terpengaruh akan isu tersebut.
Pastinya mereka punya rasa idealis dalam menentukan pilihannya sesuai dengan
hati nurani dan pikiran yang jernih. Mereka sudah cukup cerdas dalam menentukan
pilihannya untuk 5 tahun kedepan yang menyangkut nasib mereka pula. Warga DKI
Jakarta tidak perlu janji namun perlu bukti. Apapun latar belakang agama, asal,
budaya, dan ras-nya, warga DKI Jakarta tak begitu peduli selagi pemimpin yang
mereka cari itu sesuai dengan hati nurani dan pikiran jernih mereka serta untuk
keadaan daerhanya yang lebih baik dan maju.
Salah satu media yang
membuat saya menarik kesimpulan bahwa kemasan kampanye yang baik akan
menghasilkan hasil yang baik pula selain menggunakan istilah “dimana ada aksi
disitulah ada reaksi” yaitu dengan media di media sosial seperti youtube. Tim sukses pasangan Jokowi-Ahok
membuat iklan kampanye yang kemudian diunggah ke youtube dengan mengcover
sebuah lagu What Makes You Beautiful dari
boyband remaja asal Inggris yang
sedang terkenal dan tenar saat ini, One
Direction yang dipadukan dengan lirik yang diubah menjadi pesan dan
komunikasi poltik. Di dalamnya memang terdapat lirik-lirik yang nyeleneh namun
masuk akal dan logika tentang sebuah pertarungan Pilkada yang dibalut ke dalam
videoklip. Videoklip ini dibuat oleh para pemuda ataupun mahasiswa yang
mendukung pasangan Jokowi-Ahok yang sekaligus sebagai tim sukses Jokowi-Ahok.
Selain itu pula, Jokowi-Ahok juga membuat videoklip kembali yang berisikan
ajakan untuk memilih di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 putaran kedua baik untuk
pasangan yang berkumis ataupun yang kotak-kotak. Sungguh sebuah pesan
kampanye yang efektif dan menarik serta sebagai bagian dari komunikasi politik
yang memang memastikan apa yang calon pemimpin itu rencanakan, janjikan, dan
kemudian bisa diimplementasikan kedalam bentuk program kerja (proker) yang
nyata bukan hanya asal bicara seperti “pepesan kosong” dan istilah “tong kosong
nyaring bunyinya”.
Tak heran pula bila pada
hari ini, Kamis, (20/9) dimana hari Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 putaran
kedua berlangsung, pasangan Jokowi-Ahok untuk sementara unggul dalam
perhitungan cepat (quick count)
dengan persentase 53,81%
karena adanya pengaruh komunikasi politik yang dibuat oleh pasangan tersebut.
Sedangkan pasangan Foke-Nara memperoleh 46,19% hingga perhitungan cepat
terakhir pukul 16.30 WIB yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI)
bekerja sama dengan SCTV. Di
samping track record Jokowi-Ahok sebagai pemimpin daerah asal
masing-masing cukup sukses dan bahkan menjadi nominasi salah satu walikota
terbaik di dunia yang diraih oleh Jokowi atas keberhasilannya memimpin Kota
Solo menjadikan penilaian tersendiri warga DKI Jakarta untuk menentukan pilihan
terbaik mereka supaya daerahnya ada perubahan ke arah yang lebih baik dan maju
lagi. Apa yang dilakukan pasangan Foke-Nara pun juga cukup baik, namun
pencitraan pula juga menentukan pilihan warga DKI Jakarta. Citra yang dibentuk
Jokowi terlihat apa adanya dengan kesederhaan dan keramah-tamahan sebagai orang
Indonesia khususnya orang Jawa Tengah. Selain itu pula, mungkin warga DKI
Jakarta sudah cukup lelah dengan janji-janji yang ada tanpa ada bukti-bukti
yang tersedia di depan mata warga DKI Jakarta.
Jangankan
warga DKI Jakarta yang senang dengan karakter Jokowi, yang pasti pula warga
Solo pun turut senang bilamana walikota mereka itu sebentar lagi akan menjadi
Gubernur DKI Jakarta. Sampai-sampai warga Solo dalam meluapkan rasa syukur dan girang atas kemenangan walikota mereka,
Joko Widodo alias Jokowi, berdasarkan penghitungan cepat lembaga survei. Salah
satunya adalah ini: ramai-ramai mencukur kumis. Kumis adalah ikon kampanye
Fauzi Bowo, yang memang berkumis tebal. Saya
rasa dengan komunikasi politik yang baik, maka calon pemimpin tersebut bisa
menjadi pemimpin yang tidak hanya pintar beretorika namun juga jago membuat apa
yang pemimpin itu janjikan menjadi nyata.
Sumber:
v Pemikiran dan Pengalaman Pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar