Pada diary komunikasi politik ketiga kali ini,
saya mencoba menganalisis isu politik tentang RUU Pemilihan Presiden dengan
judul berita Matangkan Konsep Pemilu Serentak. Setelah saya membaca berita
tersebut telah terungkap spekulasi dari beberapa politisi dari berbagai partai
nasional mengenai isu tersebut. Ada hal menarik bila pemilu serentak langsung
diberlakukan pada tahun 2014 yaitu adanya keuntungan dan kelemahan yang bisa
didapatkan dari pemilu serentak tersebut.
Kita tahu bahwa
masyarakat Indonesia harus ikut serta dalam pesta demokrasi daerah maupun
nasional yang bila dihitung dalam 5 tahun, masyarakat harus memilih 2-4 kali
pemilu dan membuat masyarakat jenuh akan pesta demokrasi itu. Tentu, selain kejenuhan
yang dirasakan masyarakat, dana pemilu pun cukup besar menghabiskan APBN di
mana itu adalah uang rakyat. Padahal dengan diberlakukannya pemilu serentak,
bisa mendapatkan keuntungan, di antaranya penggunaan anggaran menjadi lebih
irit dan efisien. Selain itu, masyarakat tidak jenuh dalam menentukan pilihan
politiknya. Masyarakat cukup mendatangi tempat pemungutan suara dua kali dalam
lima tahun sehingga diharapkan tingkat partisipasi pemilih pun meningkat,
menurut A. Malik Haraiman, anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan
Rakyat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat saat diwawancarai pihak
KOMPAS di kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Jumat (21/9).
Malik juga berpendapat
bahwa konsep pemilihan umum secara serentak diharapkan lebih dimatangkan.
Meskipun banyak keuntungan yang bisa didapat, tidak seharusnya pemilu serentak
langsung diberlakukan pada tahun 2014 tanpa kesiapan dan konsep yang jelas.
Ketika membaca dan memahami bagian itu, saya juga berpendapat bahwa pemilu
serentak memang ada baiknya untuk efisiensi anggaran dan tingkat kejenuhan
masyarakat dalam kegiatan berpolitik dan bernegara. Namun harus disadari bahwa
pemilu serentak tidaklah mudah untuk dilaksanakan begitu saja, karena di
berbagai daerah baru saja memulai pemilu di tahun 2011, 2012 ataupun 2013
seperti Pilkada DKI Jakarta yang baru saja terjadi, maka secara otomatis waktu
jabatan dari seorang pemimpin daerah kurang dari 5 tahun masa jabatan
seharusnya. Ini akan menimbulkan permasalahan baru dan memicu konflik bila
tidak ada konsepan yang jelas tentang pemilu serentak ini dan perlu ada
kesiapan secara menyeluruh baik dari peraturan pemilu itu sendiri maupun
peraturan daerah yang mengatur tentang pilkada masing-masing daerah. Jangan
sampai dengan adanya ide pemilu serentak malah memicu permasalahan baru yang
sebenarnya ada kebaikan dari situ untuk kegiatan berpolitik masyarakat yang
lebih baik dan terintegrasi secara profesional yang dilakukan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU).
Memang penyelengaraan
pemilu serentak bisa saja terjadi jika memang ada konsep yang jelas dan matang
serta kesiapan dari berbagai hal yang menyangkut pemilu. Meski demikian,
penyelenggaraan pemilu serentak tetap sulit direalisasikan pada tahun 2014.
Salah satu persoalan yang akan muncul adalah bagaimana mengatur persyaratan
partai politik untuk mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden
(cawapres).
Pada bagian pendapat
Malik lainnya yaitu “kalau kemudian pilpres dan pileg dilakukan bersamaan pada
2014, pertanyaannya bagaimana memberlakukan president
threshold-nya. Kalau menggunakan persentase perolehan suara pada 2009, itu
tidak relevan. Lalu kalau tidak memakai president
threshold juga lucu, tidak adil. Untuk mengusung kepala daerah saja ada threshold, massa memilih presiden tidak
ada threshold,” ujarnya. Ini
menimbulkan kontradiktif tersendiri jika memang pilpres dan pileg tidak
memberlakukan threshold di mana
memang itulah salah satu elemen penting dalam pemilu adalah adil.
Anggota Baleg dari
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Indra, juga berpendapat, pemilu
serentak akan sulit diselenggarakan pada 2014. Alasannya, syarat perolehan
kursi atau suara parpol untuk mengusung capres-cawapres (presidential threshold) harus berdasarkan hasil pemilu terkini,
bukan pemilu sebelumnya. Oleh karena itu, Malik mengusulkan agar konsep pemilu
serentak dimatangkan terlebih dahulu sebelum diberlakukan. Apalagi, konsep yang
ditawarkan tiap-tiap fraksi mengenai pemilu serentak juga masih berbeda-beda,
PKB, misalnya, mengusulkan pemilihan presiden, pemilihan DPR, dan pemilihan DPD
diselenggarakan bersamaan. Pemilu gubernur, bupati/wali kota, dan DPRD provinsi
serta DPRD kabupaten/kota juga diselenggarakan secara bersamaan.
Konsep itu berbeda
dengan gagasan yang diajukan Partai Golkar, yakni pemilu presiden dilakukan
serentak dengan pemilu kepala daerah. Sementara pemilu DPR diselenggarakan
bersamaan dengan pemilihan DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Menurut
saya, dari kedua opsi itu sama-sama menginginkan pemilu serentak yang mampu mengefisiensikan
anggaran maupun partisipasi masyarakat dalam kegiatan politiknya yang
akhir-akhir ini hampir kerap didominasi dengan “golput” atau golongan putih
yang artinya abstein atau tidak
menentukan pilihan. Ini diakibatkan oleh bertaburnya janji-janji yang diberikan
oleh para calon pemimpin daerah maupun nasional tanpa adanya bukti-bukti yang
nyata. Ditambah dengan maraknya kasus-kasus korupsi yang menyangkut para
pejabat tinggi negara maupun daerah. Tentu ini bisa jadi “bumerang” tersendiri
untuk usulan pemilu serentak.
Sebenarnya, jikalau tak
ada kasus-kasus korupsi seperti itu, maka harapan masyarakat terhadap
pemimpinnya tidak akan pudar maupun menghilang dari kegiatan politik mereka di
tingkat daerah maupun skala nasional. Apalagi dalam teori pembangunan yang
menekankan adanya lembaga-lembaga sosial
dan politik yang mendukung proses pembangunan, sebelum lepas landas
dimulai. Teori Rostow (yang lebih menekankan pada proses lepas landas) dan
Hoselitz (yang membicarakan lembaga-lembaga yang diperlukan menjelang lepas
landas) merupakan contoh dari teori ini. Berbeda dengan Weber yang menekankan
nilai-nilai, Hoselitz menekankan lembaga-lembaga yang kongkret. Lembaga-lembaga
politik dan sosial ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar, serta
memasok tenaga teknis wiraswasta dan teknologi.
Kemudian, ada pendapat
dari Wakil Ketua MPR, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan,
Lukman Hakim Saifuddin, ide pelaksanaan pemilu serentak antara pemilu presiden
dan pemilu anggota legislatif masih mungkin diterapkan pada pemilu 2014. Hal
terpenting yaitu usul tersebut terlebih dulu didasari kajian mendalam dan
disosialisasikan secara masif kepada semua kalangan masyarakat pemangku
kepentingan.
Dari situlah, saya
berpendapat bahwa bila memang pemilu serentak memberikan efek yang lebih baik
untuk dunia politik Indonesia dan masyarakat Indonesia itu sendiri, maka bisa
dijalankan dan diterapkan asalkan semuanya telah terkonsep matang dan dikaji
secara mendalam dan komprehensif serta tidak semata-mata ada kepentingan lain
yang bisa membuat kacau politik Indonesia. Kemudian didukung dengan sosialisasi
yang menyeluruh jikalau sistem pemilu serentak jadi diselenggarakan pada pemilu
2014. Jangan sampai hanya membuat “ruwet” persoalan bangsa dan negara Indonesia,
lebih baik untuk tidak dilaksanakan sama sekali pemilu serentak itu bila banyak
mudlorot-nya.
Sumber:
v Pemikiran dan Pengalaman Pribadi
v Harian KOMPAS,
edisi Sabtu, 22 September 2012 pada rubrik Politik dan Hukum halaman 2 kolom 1
sampai dengan kolom 4
v Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
v Anggota IKAPI.2012. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah. Bandung: Yrama Widya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar