Haru
Biru di Kereta Api
Memang
aman dan nyaman sekali suatu ketika aku berkesempatan naik kereta api kelas bisnis.
Kejadian itu tak disengaja membawaku merasakan sensasi yang lain dari kereta
api. Sebenarnya saat itu adalah hari dimana aku dan keluarga besarku sedang
berkabung setelah mengetahui bahwa mbah
putri (sebutan untuk nenek dalam budaya Jawa) meninggal dunia karena sakit
yang cukup parah. Aku mengetahui kabar itu pada malam harinya, tanggal 21
Februari 2012 saat pekan pertama masuk perkuliahan di semester 2 lalu. Aku
ditelpon oleh ibuku pada malam hari yang begitu mengharu biru bagiku karena
mengetahui kabar mbah putri meninggal
dunia sore tadi. Sontak aku mecucurkan air mata dan mendengar tangisan ibuku
melalui telepon genggam membuat aku tambah sedih dan menangis histeris.
Aku
tak percaya akan hal itu, karena aku belum ketemu mbah putri lagi sejak mudik lebaran terakhir ke Sragen tahun 2010
lalu. Terakhir aku dan ibuku beserta tante dan budeku mendengarkan nasehat mbah putri saat mudik lebaran tahun 2010
di samping rumah mbah putri. Kami
saling berbagi cerita dan curahan hati (curhat) tentang pengalaman hidup selama
di perantauan. Bagaimana nasib aku setelah ditinggal oleh bapakku dan sekarang
hanya hidup bersama ibu dan adik perempuanku. Mbah putri menangisi aku dan ibuku, dan membuat aku dan ibuku pun
juga menangis. Bila mengingat momen terakhir bersama mbah putri, rasanya tak ingin kehilangan mbah putri untuk selama-lamanya saat itu karena aku belum mampu
membahagiakan mbah putri yang selalu
mendoakan dan memberikan semangat kepada aku dan ibuku dalam bentuk apapun.
Sepanjang
malam, aku menangisi kepergian mbah putri
ke pangkuan Allah SWT. Aku mengenang masa-masa terindah dan terakhir
bersama mbah putri. Aku tak kuasa
menahan tangis dan rasa kehilangan yang begitu mendalam. Sebelum ibuku menelpon
diriku, aku dapat kabar 2 hari sebelumnya bahwa mbah putri sedang sakit keras dan dirawat di Rumah Sakit di Kota
Sragen. Rasanya saat itu juga, aku mau langsung pulang namun perkuliahan tidak
bisa ditinggalkan saat itu dan ibuku pun sedang kerja, tidak bisa izin karena
bos-nya tidak kasih izin bila belum mendesak dan mendadak. Sungguh, aku
menyesali bila ingat kejadian itu. Saat menelpon diriku, ibuku sempat
menanyakan padaku mau naik apa ke Sragen? Mau balik dulu ke Bogor atau langsung
sendiri. Lantas, tak berpikir panjang
lebar aku memutuskan pergi sendiri langsung dari Bandung. Aku tak tahu harus
naik apa karena belum bisa berpikir secara jernih. Akhirnya, aku bilang ke
ibuku bahwa aku akan naik kereta api dari Bandung. Aku bertanya-tanya kepada
teman-temanku yang biasanya suka pergi naik kereta api. Aku pun dikasih tahu
oleh teman sekelasku dia punya kenalan, dan suka pergi ke Solo dengan kereta
api karena dia kuliah di sana. Aku pun SMS
dia dan menanyakan naik kereta apa dan jadwal keberangkatan biasanya seperti
apa.
Keesokan
harinya, tanggal 22 Februari 2012 aku bergegas dari asrama Unpad tempatku
tinggal selama kuliah pukul 06.00 pagi untuk pergi ke Stasiun Kiara Condong,
Bandung. Aku dapat informasi untuk kereta api yang menuju Sragen dari Kiara
Condong, Bandung itu, ada kereta api kelas ekonomi yang bernama “Kahuripan” dan
harganya murah. Setibanya aku di stasiun Kiara Condong, Bandung sekitar pukul
07.30 WIB aku langsung membeli tiket menuju Sragen. Sebelumnya, aku mengantri
dan membaca dulu info keberangkatan kereta api beserta rute, harga, dan nama
kereta apinya. Saat aku hendak membeli tiket kereta api “Kahuripan” yang menuju
Sragen tidak ada karena harus memesan terlebih dahulu sebelumnya. Aku tidak
tahu akan peraturan itu, karena terakhir kali aku naik kereta bisa membeli
langsung. Ada keberangkatan hari itu namun sore hari. Padahal aku ingin ke sana
sesegera mungkin tiba di rumah mbah putri.
Akhirnya, penjaga tiket itu bilang kepadaku ada kereta kelas bisnis yang
bernama “Lodaya Pagi” berangkat pukul 08.00 WIB. Tanpa berpikir panjang, walau
uangku pas-pasan akhirnya aku membeli karcis kereta api kelas bisnis itu dengan
harga Rp. 110.000,00. Setelah itu, aku langsung diarahkan oleh petugas di stasiun
untuk menunggu di jalur 3 dan bersiap-siap naik kereta api kelas bisnis yang
baru pertama kali aku alami. Sebelumnya aku hanya naik kereta api kelas
ekonomi. Dalam hatiku yang masih pilu, aku merasa sedikit terhibur karena akan
naik kereta api lagi dan saat itu dengan nuansa yang berbeda.
Sembari
nunggu, aku sempat berbincang-bincang dengan salah satu penumpang yang baru
tiba di stasiun Kiara Condong, Bandung. Penumpang itu sekeluarga dan berasal
dari Jawa Tengah. Aku tanya tentang kereta “Lodaya Pagi” ini dan kata mereka
memang cuman “Lodaya Pagi” dan kereta api kelas eksekutif yang ada pada pukul
08.00 pagi berangkat menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah menunggu
beberapa menit saja, kereta api “Lodaya Pagi” terlihat dari kejauhan di bawah fly over Kiara Condong dan memang tak
perlu diragukan lagi kalau kereta api kelas bisnis ini berangkat tepat waktu
pukul 08.00 WIB. Aku bergegas naik gerbong kereta api “Lodaya Pagi” dengan no.
Kereta BIS-3/9D yang sekaligus tempat dudukku di 9D. Kesan pertama, melihat
gerbong di dalamnya bersih dan rapih serta agak kosong alias tidak penuh.
Mungkin karena hari biasa juga dan bukan momen mudik lebaran. Tidak berdesakan
saat memasuki gerbong kereta api. Aku pun bebas memilih tempat duduk yang mau
aku singgahi karena memang lowong.
Lonceng dan pluit pun berbunyi tanda kereta segera berangkat. Aku tak sabar
untuk segera sampai Sragen. Aku berharap sampai dalam hitungan menit tapi tidak
mungkin, secepat-cepat dan setepat-tepatnya kereta api kelas bisnis juga dalam
hitungan jam karena jarak yang jauh mencapai 400 KM lebih dari Bandung menuju
Solo. Dilihat dari karcis kereta api “Lodaya Pagi” ini akan tiba di Stasiun
Solo Balapan pukul 16.34 WIB. Ya, aku berharap lebih cepat dan setidaknya tepat
waktu.
Kereta
api “Lodaya Pagi” melaju dengan kecepatan yang cukup cepat, kereta bisnis ini
melewati jalur selatan dimana dari arah Bandung akan melewati beberapa daerah
di selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah termasuk melewati DI Yogyakarta.
Pengalaman yang berbeda dirasakan menggunakan modal transportasi ini. Saat
melintasi daerah Garut, aku masih terbayang raut wajah mbah putri dengan pakaian
batik dan jarik sebagai pakaian
bawahannya. Aku teringat kata-kata mbah
putri saat terakhir kali aku bertatap muka dan berkomunikasi pada musim
mudik lebaran 2 tahun yang lalu. Aku rindu mbah
putri bahkan aku terniang oleh mbah kakung (sebutan untuk kakek di
keluarga Jawa) saat aku masih kecil selalu diajak ke sawah dan melihat gunung
lawu dari kejauhan di tengah-tengah persawahan dan terlihat pula kereta api
yang melintasi persawahan di Sragen. Sepanjang perjalanan itu pula aku menangis
dan terus menangis tak henti-hentinya air mata ini mengalir dengan cukup
derasnya.
Melewati
daerah Jawa Tengah dan membeli jajanan yang ku suka bila naik kereta api yaitu
pecel sempat membuatku meredakan emosi karena menangisi kepergian mbah putri. Di kereta bisnis sungguh tak
ada keramaian, yang ada beberapa orang yang bisa dihitung jari terlelap karena
tidur ataupun asyik sendiri. Berbeda dengan suasana di kereta kelas ekonomi
yang selalu penuh sesak apalagi saat mudik lebaran sampai tak muat dan banyak
interaksi yang terjadi. Karena suasana yang agak hening pula, air mata
berlinang kembali dan jatuh di pelupuk pipi dan mulut ini. Sungguh, pengalaman
naik kereta yang mengharu biru bercampur dengan rasa duka yang begitu mendalam.
Rasanya aku tak sanggup menerima kenyataan ini, namun inilah takdir dari Sang
Ilahi. Maka, aku mencoba ikhlas dan tegar akan cobaan yang diberikan Allah SWT
kepada aku dan keluarga besarku.
Perjalanan
yang menempuh waktu 8 jam ini akhirnya selesai dan tiba di Stasiun Solo
Balapan, Kota Solo tepat pukul 16.30 WIB, 4 menit lebih cepat. Wah, memang
kereta api kelas bisnis jauh berbeda dengan kelas ekonomi dalam hal kenyamanan
dan ketepatan waktu. Ya jelas ketika harga bagus pasti ada kualitas. Di sini
aku menemukan kenyamanan suasana di dalam gerbong yang bersih dan rapih karena
memang ada petugas kebersihan yang setiap saat memeriksa kebersihan serta
hening jadi membuat perasaanku merasa nyaman walau juga ada rasa duka yang
begitu mendalam. Tentu saja, merasa aman karena tidak merasa terancam dengan
situasi penuh sesak orang-orang di dalam gerbong karena memang lowong keadaannya. Ditambah dengan
setiap waktu ada kondektur kereta yang mengecek ke beberapa gerbong.
Semoga
dengan kisahku ini aku bisa memberikan warna tersendiri dalam pengalamanku saat
melakukan perjalanan jauh dengan kereta api, transportasi kesayanganku dari
kecil hingga saat ini. Aku berharap kedepannya pula, kereta api Indonesia makin
maju dan jaya terus perkeretaapian Indonesia! Selalu memperbaiki dan
meningkatkan fasilitas dan pelayanannya supaya makin banyak lagi “fans” kereta
api Indonesia.
“Dirgahayu
PT. Kereta Api Indonesia (KAI) ke-67 Jaya terus, perkeretaapian Indonesia!”
Deden
Rochman Saputro
Mahasiswa
Jurnalistik Fikom Unpad
210110110051
Tidak ada komentar:
Posting Komentar